Antara abad ke-14 sampai ke-16, yang berkuasa di Kerajaan mandala di puntang - hingga berubah menjadi Keprabuan Timbanganten
berturut-turut Dalem Pasehan, Ratu Maraja Inten Dewata, Prabu Permana di
Puntang, Prabu Panten Rama Dewa, dan Prabu Derma Kingking. Ketika masuk
pengaruh Islam pada tahun 1575 dan masa Sumedang Larang tahun 1580,
yang berkuasa di Timbanganten berturut-turut Sunan Derma Kingking, Sunan
Ranggalawe, dan Tumenggung Jayakusumah.
Baiklah kita mulai.....
Kerajaan Mandala di puntang ini berawal
sejak Dalem Pasehan menjadi Ratu di Kadaleman. Dalem
Pasehan adalah keturunan dari Ciung Manarah yang lahir di Mandala
Putang ( Panembong Bayongbong). Ia pernah menjadi mertua Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi
menikahi anaknya bernama Nyi Mas Ratna Inten Dewata. Sewaktu menjadi
Ratu, Dalem Pasehan menyandang gelar Sunan Permana di Putang. Di akhir
hayatnya, ia kemudian menjadi pertapa dan menghilang (tilem) di Gunung
Satriya. Sebagai pengganti yang menjadi Ratu adalah anaknya yang bernama
Sunan Dayeuh Manggung yang dimakamkan di Dayeuh Manggung. Sunan Dayeuh
Manggung wafat dan digantikan anaknya, Sunan Darma Kingkin, sejak di pimpin oleh Sunan Derma Kingkin ibukota kerajaan dipindahkan dari Panembong Bayongbong ke Tarogong yang kemudian namanya di gantipula menjadi kerajaan timbanganten. Sunan derma Kingkin yang makamnya
di Muara Cikamiri.
Berdirinya Kerajaan Timbanganten merupakan kelanjutan dari Kerajaan Mandala Dipuntang (Panembong Bayongbong), dimana rajaan Prabu Derma Kingkin
sebagai Nalendra terakhir Kerajaan Mandala di Puntang, lalu ia
memindahkan pusat kerajaan dari Panembong ke daerah Timbanganten (daerah
yang sekarang disebut Tarogong).
Timbanganten merupakan daerah sekitar Gunung Guntur, lantas Derma
Kingkin mengganti nama kerajaan Mandala di Puntang menjadi Kerajaan
Timbanganten. Sunan Derma Kingkin memiliki lima orang putra, yaitu : Sunan Kacue dikenal dengan nama Baginda Salemba, Nalendra Sunan Ranggalawe, Dalem Cicabe di Suci Garut, Dalem Cibeureum di korobokan Limbangan, Dalem Kandang Serang di Cilolohan, dan Dalem Kowang di Pagaden Subang.
Timbanganten merupakan bagian dari sejarah Jawa Barat, dan termasuk
wilayah dari Tatar Ukur. Tatar Ukur, menurut naskah Sadjarah Bandung,
adalah daerah Kerajaan Timbanganten dengan ibukota di Tegal luar.
Kerajaan itu berada di bawah dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran.
Sejak pertengahan Abad ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara
turun-temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur.
Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah
yang cukup luas, mencakup sebagian besar Wilayah Jawa Barat, terdiri
dari sembilan daerah yang disebut “Ukur Sasanga”.
Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (8 Mei 1579 M) akibat
serangan Pasukan Banten dalam usaha menyearkan Agama Islam di daerah
Jawa Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan kerajaan
Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang
didirikan dan diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun
(1580-1608), dengan ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak di
sebelah Barat Kota Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan Kerajaan itu
meliputi daerah yang kemudian disebut Priangan, kecuali Daerah Galuh
(sekarang bernama Ciamis).
Ketika Sumedanglarang diperintah oleh Raden Aria Suriadiwangsa, anak
tiri Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya, Sumedang Larang menjadi daerah
kekuasaan Mataram sejak Tahun 1620. Sejak itu status Sumedang Larang pun
berubah dari Kerajaan menjadi Kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang.
Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian
Barat terhadap kemungkinan serangan pasukan Banten dan Kompeni yang
berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan Sultan
Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan Konflik dengan
Kesultanan Banten.
Untuk mengawasi Wilayah Priangan, Sultan Agung Raden Aria
Suriadiwangsa menjadi “Bupati Wedana” (Bupati kepala) di Priangan
(1620-1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata/Rangga
Gempol I. Tahun 1621, Sultan Agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk
menaklukkan Daerah Sampang (Madura). Oleh karena itu, jabatan “Bupati
Wedana” Priangan diwakilkan kepada adik Rangga Gempol I, yaitu Pangeran
Dipati Rangga Gede. Tidak lama, setelah Pangeran Dipati Rangga Gede
menjabat Bupati Wedana, Sumedang diserang oleh Pasukan Banten. Oleh
karena, sebagian Pasukan Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati
Rangga Gede tidak dapat mengatasi serangan tersebut. Akibatnya, ia
menerima sanksi politis dari Sultan agung. pangeran dipati Rangga Gede
ditahan di Mataram.
Jabatan Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan
syarat ia harus dapat merebut Batavia dari kekuasaan kompeni Belanda.
Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati ukur untuk membantu pasukan
Mataram menyerang kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu
mengalami kegagalan. Dipati Ukur sangat menyadari bahwa sebagai resiko
dari kegagalan tersebut, ia akan menerima sanksi berat dari raja
Mataram, misalnya seperti hukuman yang dialami Pangeran Dipati Rangga
Gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh karenanya, Dipati Ukur
beserta para pengikutnya membangkang terhadap Mataram. Setelah
penyerangan terhadap kompeni gagal, mereka tidak datang ke Mataram
melaporkan kegagalan tugasnya.
Tindakan Dipati Ukur dianggap Pihak Mataramsebagai tanda
pemberontakan terhadap penguasa kerajaan Mataram. terjadinya
pembangkangan Dipati Ukur beserta pengikutnya dimungkinkan, antara lain
karena Pihak Mataram sulit untuk mengawasi daerah Priangan secara
langsung, akibat jauhnya jarak antara pusat Kerajaan Mataram dengan
Daerah Priangan. Secara teori, bila daerah koloni jauh dari pusat
kekuasaan,’ maka kekuasaan pusat di daerah itu sangat lemah. Namun
demikian, berkat bantuan beberapa kepala daerah di Priangan, pihak
Mataram akhirnya dapat memadamkan “pemberontakan” Dipati Ukur.
Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati Ukur tertangkap di Gunung
Lumbung (Bandung) pada Tahun 1632. Setelah pemberontakan Dipati Ukur
berakhir, jabatan Bupati Wedana diserahkan kembali oleh Sultan Agung
kepada Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari hukumannya.
Selanjutnya, Sultan Agung melaksanakan reorganisasi pemerintahannya di
Priangan, dengan tujuan mempertahankan stabilitas dan keamanan daerah
tersebut. Daerah Priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi 3
(tiga) kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten ParakanMuncang, dan
Kabupaten Sukapura dengan mengangkat 3 (tiga) orang Kepala Daerah dari
Priangan yang dianggap telah berjasa dalam memadamkan pemberontakan
Dipati Ukur. Ketiganya, antara lain adalah :
- Ki Asta Manggala, umbul Cihaurbeuti, diangkat sebagai “Mantri Agung”(Bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung Wirangunangun.
- Ki Tanubaya, diangkat sebagai Bupati Parakanmuncang.
- Ngabehi Wirawangsa menjadi Bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha.
Ketiganya dilantik secara bersamaan berdasarkan “Piagem Sultan Agung”
yang dikeluarkan Hari Sabtu Tanggal 9 Muharram Tahun Alip (Penanggalan
Jawa). dengan demikian, Tanggal 9 Muharram Tahun Alip bukan hanya
merupakan Hari jadi Kabupaten Bandung saja, namun sekaligus juga Hari
jadi Kabupaten Sukapura dan Kabupaten Parakanmuncang.
Setelah ketiga Bupati tersebut dilantik di Pusat pemerintahan
Mataram, mereka kembali ke daerah masing-masing. Sadjarah Bandung
(naskah) menyebutkan bahwa Bupati Bandung Tumenggung Wirangunangun
beserta pengikutnya dari Mataram kembali ke Tanah ukur. Pertama kali
mereka datang ke daerah Timbanganten. Di sana Bupati Bandung mendapatkan
200 cacah. Selanjutnya Tumenggung Wirangunangun bersama rakyatnya
membangun Krapyak, sebuah tempat yang terletak di tepi Sungai Citarum
dekat muara Sungai Cikapundung (daerah pinggiran Bandung Selatan)
sebagai ibukota Kabupaten. Sebagai daerah pusat Kabupaten Bandung,
Krapyak dan daerah sekitarnya disebut “Bumi Ukur Gede”.
Wilayah Administratif Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram
(hingga akhir Abad ke-17), belum diketahui secara pasti, karena sumber
akurat yang memuat data tentang hal itu belum ditemukan. menurut sumber
pribumi, pada Tahap awal Kabupaten Bandung melputi beberapa daerah ,
antara lain : Tatar Ukur termasuk Daerah Timbanganten, Kuripan,
Sagaraherang, dan sebagaian Tanah Medang. Boleh jadi, Daerah Priangan di
luar Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura dan Galuh, yang
semula merupakan Wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) pada masa
pemerintahan Dipati Ukur, merupakan Wilayah Administratif Kabupaten
Bandung waktu itu. Bila ini benar, maka Kabupaten Bandung dengan ibukota
krapyak, wilayahnya mencakup Daerah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa,
Cabangbungin, Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo,
Ujungberung, dan lain-lain (termasuk Kuripan, Sagaraherang, dan Tanah
Medang).
Kerajaan Timbanganten yang merupakan kelanjutan dari Kerajaan Mandala
Di Puntang (Untuk Kerajaan mandala Di Puntang, disilakan menyimak
tulisan saya di dokumen DPP Gema Sunda Jabar) merupakan Bukti akan
adanya kerajaan di Daerah Garut, khususnya di Daerah Tarogong sekarang.
ketika penguasa terakhir yang bernama Dipati Ukur ditumpas oleh Mataram,
maka Kerajaan Timbanganten ditinggalkan. Setelah dibentuknya Bandung
yang mengambil bagian Tatar Ukur sebagai bagian dari sultan Agung atas
keberhasilannya menumpas karaman Dipati Ukur. Sadjarah Bandung (Naskah),
menyebutkan bahwa di Timbanganten hanya tersisa 200 cacah.
Naskah Sajarah Turunan Timbanganten
Nama Pemegang naskah : Adang. Tempat naskah : Kp. Cieunteung Desa
Mekarluyu Kec. Sukawening. Asal naskah : warisan. Ukuran naskah : 17 x
22 cm. Ruang tulisan : 14 x 18 cm. Keadaan naskah : tidak utuh. Tebal
naskah : 49 Halaman. Jumlah baris per halaman : 14 baris. Jumlah baris
halaman awal dan akhir : 11 baris. Huruf : Arab/Pegon. Ukuran huruf :
besar. Warna tinta : hitam. Bekas pena : tumpul. Pemakaian tanda baca :
ada. Kejelasan tulisan : jelas. Bahan naskah : kertas tidak bergaris.
Cap kertas : tidak ada. Warna kertas : kecoklat-coklatan. Keadaan kertas
: agak tipis halus. Cara penulisan : timbal balik. Bentuk karangan :
puisi.
Naskah berisi tentang sejarah
turunan Kerajaan Timbanganten yang disebut-sebut cikal bakal Kabupaten
Bandung, sebab Wilayah Kabupaten Bandung hampir sebagian besar bekas
Tatar Ukur Timbanganten. Maka Naskah ini berisi silsilah pun berhubungan
dengan keluarga bangsawan Timbanganten dan Bandung. Pada umumnya
silsilah tersebut diawali dari Nabi Adam AS sebagai manusia pertama;
kemudian melalui Nabi Muhammad, Ratu Galuh, Ciung Manarah dan Prabu
Siliwangi (Raja Pajajaran). Ratu Galuh dianggap sebagai sebagai raja
pertama di Pulau Jawa. Ada pun deskripsi naskah ini adalah sebagai
berikut :
Keluarga bangsawan Timbanganten muncul sejak Dalam Pasehan menjadi
Ratu di Kadaleman Timbanganten. Wilayah Kadaleman Timbanganten sekarang
mencakup wilayah Kecamatan Tarogong Kaler dan Kidul, Samarang, Leles dan
Kadungora (Cikembulan). Dalem Pasehan adalah keturunan dari Ciung
Manarah yang lahir di Mandala Puntang. Ia pernah menjadi mertua Prabu
Siliwangi. Prabu Siliwangi menikahi anaknya bernama Nyimas Ratna Inten
Dewata. Sewaktu menjadi Raja, Dalem Pasehan menyandang gelar Sunan
Permana di Puntang. Di akhir hayatnya, ia kemudian menjadi pertapa dan
“menghilang” (tilem) di Gunung Satria.
Terdapat perbedaan mengenai Dalem Pasehan. Dalam sejarah Kerajaan
Mandala di Puntang, tokoh ini merupakan penguasa kerajaan tersebut
hingga akhirnya, berdasarkan keputusan Prabu Siliwangi di Pajajaran,
kepemimpinan diserahkan kepada isterinya yang merupakan anak Dalem
Pasehan sendir, yaitu Ratu Maraja Inten Dewata menjadi Nalendra di
Kadaleman Mandala di Puntang. Perpindahan kekuasaan dari Kerajaan
Mandala di Puntang menjadi Kadaleman Timbanganten terjadi pada masa
pemerintahan Derma Kingkin.
Sebagai pengganti yang menjadi Ratu adalah anaknya Sunan Dayeuh
Manggung yang dmakamkan di Dayeuh Manggung. Sunan dayeuh manggung wafat
dan digantikan anaknya , Sunan Derma Kingkin yang makamnya di muara
Sungai Cikamiri. Setelah Sunan Derma Kingkin meninggal, maka Sunan
Ranggalawe, putranya yang menggantikan dan beribukota di Korwabokan.
Kemudian setelah Sunan Ranggalawe, berturut-turut yang menjadi ratu di
Timbanganten adalah Sunan Kaca (adik Ranggalawe), Sunan Tumenggung
Pateon (menantu Sunan Kaca atau putra Sunan Ranggalawe), Sunan Pari
(ipar Sunan Pateon), Sunan Pangadegan (adik Sunan Pateon) yang di
makamkan di Pulau Cangkuang.
Sunan Pangadegan meninggal, maka yang menggantikan adalah Sunan
Demang. Sunan Demang sendiri meninggal (dibunuh) di Mataram, dan
penggantinya adalah Sunan Saanugiren (kakak Sunan Demang). Selanjutnya
yang menggantikan Sunan Sanugiren, putranya Demang Wirakrama. Demang
Wirakrama setelah meninggal dimakamkan di Sarsitu dan digantikan oleh
Putranya, Raden Demang Candradita yang di kemudian hari menjadi Penghulu
Bandung. Meninggal di Cikembulan dan dimakamkan di Tanjung Kamuning.
Kakak Raden Demang Candradita, Raden Demang Ardisutanagara menjadi Dalem
di Bandung dan setelah meninggal dimakamkan di astana Tenjolaya
Timbanganten.
Pengganti Demang Ardisutanagara adalah Dalem Tumenggung Anggadireja ,
setelah meningggal dikenal dengan sebutan Sunan Gordah, Timbanganten.
Pengganti Sunan Gordah, putranya bernama Raden Inderanegara dan bergelar
Tumenggung Anggadireja, ketika meninggal dimakamkan di astana Tarik
Kolor Bandung. Tumenggung Anggadireja meninggal digantikan putranya ,
Raden Anggadireja yang bergelar Dalem Adipati Wiranatakusumah. Dalem
Adipati Wiranatakusumah meninggal dan dimakamkan di pinggir mesjid Tarik
Kolor Bandung (sekarang lokasi Mesjid Agung Propinsi Jawa Barat, di
Jalan Dalem Kaum Bandung). Selanjutnya, sebagai pengantinya adalah
putranya bernama Dalem Dipati Wiratanukusumah.
Dalem Dipati Wiratanukusumah meninggal, maka yang menggantikannya
Raden Nagara (putranya) serta bergelar Dipati Wiratanukusumah, tetapi
tidak lama karena ia di bunuh kolonial Belanda. Dipati Wiratanukusumah
digantikan putranya, Raden Rangga Kumetir dan bergelar Dalem Adipati.
Sewaktu dalem Adipati meninggal yang menggantikan adalah saudaranya,
bernama Raden Adipati Kusumadilaga Bintang (DALEM BINTANG).
Dalam naskah ini diuraikan mengenai batas-batas wilayah Timbanganten,
Tanah Cihaur dan Tanah Ukur Pasir Panjang yang dibatasi Gunung
Mandalawangi. Selanjutnya Timbanganten berganti nama menjadi Tarogong,
dan sebagian dari Wilayah Tatar Ukur, sekarang termasuk pada wilayah
Administratif Kabupaten Garut, yaitu : Kecamatan Tarogong Kaler dan
Kidul (dimana pada saat proses pemekaran Kecamatan Tarogong Tahun 2002,
Penulis terlibat langsung dan turut membidani lahirnya 2 kecamatan baru
ini), kemudian Samarang, Leles, dan Kadungora atau Cikembulan.
mantap mang :D
BalasHapusheheh bilih aya saran atanapi masukan Coment sajah ya broh
BalasHapus